Jakarta, cnbcindonesia.com – Langkah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat industri pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit hingga menjadi aluminium bukan tanpa alasan. Sebab, negara bisa untung berkali-kali lipat dengan adanya proses hilirisasi ini.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Danny Praditya menjelaskan terdapat nilai tambah apabila bauksit dijual dalam bentuk alumina hingga menjadi aluminium. Berdasarkan hitungan perusahaan misalnya, 1 ton bauksit saat ini dihargai sekitar US$ 24-31.
Adapun dari 1 ton bauksit tersebut dapat menghasilkan 0,30 ton alumina yang nilainya dapat mencapai US$ 118,8 atau mengalami kenaikan nilai hingga 3,8 kali lipat. Tak berhenti di situ, peningkatan nilai tambah kembali didapat apabila alumina diolah kembali menjadi aluminium.
Setidaknya, dari 0,3 ton alumina yang dihasilkan dapat menghasilkan 150 kg aluminium senilai US$ 465. Produk tersebut mengalami kenaikan hingga 4,1 kali lipat dari produk sebelumnya.
“Nah ini nilai multiplier-nya dari US$ 118,8 menjadi US$ 465. Harga 1 ton aluminium kurang lebih di angka US$ 2.200, tahun lalu sempat mencapai US$ 2.700. Ini bisa kita lihat apabila kita bisa manfaatkan produksi bijih bauksit di Indonesia maka kita akan mendapat added value yang signifikan,” kata Danny dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, dikutip Jumat (25/8/2023).
Di sisi lain, permintaan aluminium dunia sampai 2028 akan mengalami peningkatan pertumbuhan 2,5% dengan proyeksi konsumsi sekunder global mencapai 36 juta ton pada 2028, lewat pangsa 30% dari total aluminium secara global.
Sementara, dari sisi supply, faktor emisi karbon juga akan memainkan peran penting. Dalam jangka panjang, diproyeksikan Indonesia akan menjadi negara pemasok aluminium kelima terbesar di dunia.
“Ini juga patut dicermati karena aluminium sekunder (hasil daur ulang) dinilai lebih green karena energy intensitasnya lebih rendah dibanding aluminium primary,” tambah Danny.
Meski demikian, pihaknya juga masih melihat bahwa permintaan konsumsi aluminium primer di Indonesia, masih didominasi oleh kebutuhan aluminium sektor industri Transportasi (termasuk pengembangan ekosistem EV), Building/Konstruksi, dan Elektrikal.
“Ini secara recap bagaimana potensi aluminium baik domestik maupun global, ini yang jadi trigger bahwa Inalum harus memanfaatkan momentum untuk meningkatkan kapasitas dan bertumbuh secara sustain,” ujar Danny.
Oleh sebab itu, produksi aluminium Inalum pada 2027 diharapkan dapat naik secara bertahap menjadi 900 ribu ton per tahun. Hal tersebut menyusul adanya peningkatan kapasitas produksi perusahaan melalui pot upgrading pot, pot optimization, dan smelter expansion Kuala Tanjung (Brownfield 1).
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan, potensi penambahan pendapatan negara bisa melesat hingga delapan kali lipat dari hilirisasi bauksit menjadi alumina.
Berdasarkan catatannya, pada 2021 harga bijih bauksit berada di level US$ 24 -30 per ton atau sekitar Rp 469.323 per ton. Hal itu menyumbang pendapatan negara sebesar US$ 628 juta atau setara dengan Rp 9,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.646 per US$) dengan penjualan sebanyak 23 juta ton bijih bauksit.
Sementara apabila dijual berupa alumina, penerimaan negara diperkirakan bisa melejit menjadi delapan kali lipat dengan asumsi harga alumina kini sekitar US$ 200 – US$ 300 per ton.
Dengan asumsi penjualan pada volume yang sama saja, penerimaan negara akan naik menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 79 triliun.
“Dengan harga bijih bauksit itu kira-kira US$ 24-30 per ton itu kemarin tahun 2021. Kita menjual sekitar 23 juta ton itu sekitar US$ 628 juta. Itu sedemikian rupa, begitu angka ini akan melesat apabila kita berhasil menjadi alumina dari bijih bauksit dalam proses smelter bauksit grade alumina,” paparnya dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
“Ini harga jualnya dapat menjadi sekitar US$ 200-300 per ton. Anda bisa bayangkan delapan kali kurang lebih ya,” ucapnya.
Menurutnya, nilai tersebut dapat terdongkrak lagi apabila Indonesia mengolah alumina menjadi aluminium. Apalagi, harga aluminium kini sudah mencapai di level US$ 2.000 per ton.
“Kemudian, terlebih lagi alumina diolah menjadi aluminium harga jualnya melesat hingga US$ 2000 per ton. Jadi kita bisa bayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan negara,” ujarnya.