Oleh Ismet Djafar*
DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Air (RUU SDA). Pembentukan RUU SDA ini tidak terlepas dari tugas konstitusional sesuai amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat. Air adalah kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu pengelolaannya harus menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air untuk keberlangsungan kehidupan (sustainability). Sesuai asas hukum alam, ketersediaan sumber daya alam terbatas, sedangkan kebutuhan manusia dan lingkungannya tidak terbatas.
Pembahasan RUU SDA oleh Komisi V DPR RI sudah memasuki babak akhir dari Pembicaraan/Pembahasan tingkat I. Sesuai dengan peraturan DPR RI, setelah tercapai kata sepakat dalam Panja (Panitia Kerja) dalam membahas semua DIM (Daftar Invenarisasi Masalah) maka akan diambil keputusan pada Raker Komisi V dengan Pemerintah sebagai akhir dari tahap Pembicaraan/pembahasan Tingkat I.
RUU SDA ini adalah RUU inisiatif yang diajukan oleh Komisi V. RUU ini sebagai “pengganti” UU SDA lama yaitu UU Nomor 7 Tahun 2004 yang telah “almarhum” karena dicabut “nyawanya” oleh MK pada tanggal 18 Februari 2015. Sehingga berdasarkan keputusan MK maka kembali ke UU asalnya. Dengan demikian berlaku kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Tentu saja seiring dengan perkembangan waktu dan kompleksitas masalah Pengelolaan Sumber Daya Air, keberadaan UU Nomor 11/1974 tidak memadai lagi. Oleh karena itu harus ada UU baru yang lebih komprehensif.
Ada yang agak aneh dengan pembahasan RUU SDA kali ini. Dulu waktu pembahasan hingga menjelang pengesahan RUU SDA lama (menjadi UU Nomor 7/2004) oleh DPR, berbagai lembaga non pemerintah atau LSM sangat kritis hingga demo berkali-kali ke Senayan. Berbagai elemen memprotes materi RUU SDA. Kali ini tidak seseru tempo hari. Kali ini agak adem. Justru yang lebih aktif bersuara adalah kalangan akademisi dan kalangan dunia usaha, seperti yang tergabung dalam Apindo atau Aspadin (Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan) dan PAAI (Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia). Aspadin khawatir materi dalam RUU SDA saat ini akan berpotensi mematikan daya saing dan usaha air minum kemasan. PAAI meminta pengelolaan air tanah berbasis Cekungan Air Tanah (CAT) karena potensi air tanah jauh lebih besar air permukaan yang berbasis Wilayah Sungai (WS).
Namun jika diperhatikan, ternyata ada hal yang substantif dan belum terungkap secara terbuka di media atau publik. Asal muasalnya adalah terkait pengelolaan air tanah. Rumusan dari pasal-pasal dalam RUU ini memberikan pengertian bahwa pengelolaan air tanah lebih berbasis Wilayah Sungai (WS) bukan berbasis Cekungan Air Tanah (CAT). Sepintas Nampak seperti tidak ada masalah serius terhadap rumusan tersebut. Namun jika didalami lebih lanjut, implikasinya sangat serius. Jika pengelolaan air tanah didasarkan pada WS (bukan CAT), maka kewenangan pengelolaan air tanah oleh Kementerian ESDM dalam hal ini Badan Geologi yang telah mengelola air tanah sejak Badan ini terbentuk, akan berpindah tangan ke Kementerian PUPR.
Perpindahan kewenangan ini otomatis akan diikuti oleh perpindahan anggaran atau bahasa simpelnya Kementerian ESDM akan kehilangan anggaran yang signifikan dan Kementerian PUPR akan mendapatkan pos anggaran baru. Kementerian PUPR sejak era Pemerintahan Presiden Jokowi menjadi kementerian favorit dengan anggaran yang sangat besar dan bahkan “tidak terbatas”. Kalau Kementerian lain sangat dibatasi pagunya oleh Menteri Keuangan, maka Kementerian PUPR dibatasi oleh kemampuan Kementerian PUPR sendiri. Kira-kira perumpamaannya seperti itu. Memang wajar PUPR istimewa, karena tema dan fokus Presiden Jokowi dalam lima tahun pertama pemerintahannya adalah pembangunan infrastruktur, dimana sebagian besar ada di Kementerian PUPR.
Salah satu program favorit pro rakyat dari Kementerian ESDM adalah pengeboran air tanah, selain program seperti BBM satu harga, program lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) dan lainnya. Pengeboran air tanah (sumur bor) umumnya dilakukan di daerah sulit air atau daerah yang terkena bencana alam. Anggota Komisi VII sangat terbantu dengan program sumur bor ini. Karena setiap tahun aspirasi atau permintaan sumur bor dari masyarakat melalui Anggota Komisi VII terus meningkat, sehingga wajar pagu anggarannya disetujui oleh Komisi VII untuk terus ditingkatkan. Demikian pula permintaan dari Pemda kepada Kementerian ESDM untuk kebutuhan daerah rawan kekeringan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pagu anggaran sumur bor dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan, bahkan bisa disebut fantastis. Tahun 2015 pagunya sebesar Rp54,1 milyar untuk 100 titik. Tahun 2016 meningkat 100% menjadi 200 titik dengan pagu anggaran Rp121,3 milyar. Berikutnya tahun 2017 naik menjadi 250 titik dengan anggaran Rp166,9 milyar. Selanjutnya 2018 naik 100% lagi menjadi 500 titik dengan anggaran Rp274,2 milyar. Karena permintaan yang terus naik, kemudian tahun 2019 naik lagi menjadi 650 titik dengan anggaran Rp377,2 milyar. Untuk tahun 2020, pagu yang diusulkan oleh Kementerian ESDM sebesar 428,3 milyar untuk 750 sumur bor. Jadi dalam lima tahun terakhir dari awalnya 100 sumur bor kemudian meningkat menjadi 750 sumur bor. Kenaikan 750% adalah angka yang fantastis. Artinya, program ini benar-benar sangat bermanfaat bagi rakyat sehingga pemerintah sudah seharusnya terus menaikkan anggaran sumur bor dan DPR juga mendukung program ini.
Namun demikian, untuk tahun 2021 dan selanjutnya masih menjadi tanya besar. Pasalnya, jika kewenangan Kementerian ESDM dalam pengelolaan air tanah “dicabut” oleh UU SDA yang baru maka nasib program sumur bor ke depan belum jelas. Sebenarnya selama ini Kementerian PUPR lebih konsen pada air permukaan yang berbasis Wilayah Sungai. Bahkan untuk urusan ini saja, sudah cukup merepotkan bagi Kementeriam PUPR selaku “pemilik” sungai di seluruh wilayah NKRI. Sementara itu Badan Geologi Kementerian ESDM tidak hanya konsen pada pemanfaatan air tanah, tetapi juga memperhatikan aspek konservasi air tanah melalui pengelolaan CAT. Jumlah CAT seluruh wilayah NKRI adalah 421 CAT.
Menyikapi jalannya pembahasan RUU SDA yang akan memangkas kewenanganya, Kementerian ESDM tidak tinggal diam. Melalui suratnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan melaporkan kepada Presiden Jokowi perkembangan pembahasan tersebut. Dalam surat bertanggal 16 Juli 2019 tersebut, Jonan menyampaikan bahwa antara Kementerian ESDM dan Kementerian PUPR belum (tidak) mencapai kesepakatan terkait substansi RUU SDA yaitu tentang pengelolaan air tanah. Seharusnya, menurut Jonan, pengelolaan air tanah berdasarkan Cekungan Air Tanah (CAT) dengan menekankan asas konservasi air tanah (bukan berbasis Wilayah Sungai). Kemudian Jonan meminta pengaturan tentang pengelolaan air tanah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Hingga Rapat Panja terakhir (final) pada tanggal 21 Agustus 2019, tidak ada pembahasan lebih lanjut terkait substansi usulan Menteri ESDM tersebut. Ketukan palu dari Lazarus selaku Ketua Panja menyatakan bahwa semua Fraksi sudah meyepakati semua DIM RUU SDA. Mengingat waktu yang sangat mepet dengan jadwal pengesahan Undang-Undang di masa sidang terakhir DPR Periode 2014-2019, maka pekan depan kemungkinan RUU ini akan masuk ke rapat BAMUS DPR. Kemudian dilanjutkan dengan Pembicaraan/Pembahasan Tingkat II atau Rapat Paripurna untuk pengesahan RUU SDA. Pada Sidang Paripurna tersebut akan disampaikan Laporan Hasil Pemahasan Tingkat I RUU SDA oleh Pimpinan Komisi V selaku pengusul. Kemudian pernyataan persetujuan/penolakan dari setiap Fraksi secara lisan dan selanjutnya Penyampaian pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditunjuk mewakili Presiden.
Sebagaimana diketahui, DPR Periode 2014-2019 akan mengakhiri masa tugasnya hingga 30 September 2019. Sebab 1 Oktober 2019 akan dilakukan pelantikan DPR baru. Seperti biasanya, masa sidang terakhir akan menjadi final battle bagi semua alat kelengkapan DPR dan Pansus RUU untuk menyelesaikan RUU-nya masing-masing agar bisa disahkan. Sebab jika tidak bisa disahkan sebelum 1 Oktober 2019, maka RUU tersebut akan kembali ke nol. Tahapannya dimulai dari awal lagi oleh DPR baru, yaitu Periode 2019-2024.
Akhirnya, hanya “kebijakan” Presiden Jokowi yang masih ditunggu untuk mengakhiri polemik ini. Apakah Presiden akan menunda pengesahan RUU ini dalam Sidang Paripurna, ataukah tetap akan sepakat dengan DPR untuk mengesahkan RUU SDA pada periode DPR sekarang. Kita tunggu tanggal mainnya.
*Pemerhati Energi dan Pertambangan