Pemerintah dan DPR Sepakat Awasi Pembangunan Kilang

JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersepakat untuk melakukan pengawasan secara intensif dan memastikan realisasi semua tahapan proyek pembangunan kilang minyak baru (Grass Root Refinery/GRR) dan peningkatan kapasitas kilang eksisting (Refinery Development Master Plant/RDMP), dapat selesai tepat waktu.  

Kesepakatan itu diketok dalam Rapat Dengar Pendapat Dirjen Migas dengan Komisi VII DPR, Rabu (23/5). Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih serta dihadiri pula oleh Pelaksana tugas  Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati. DPR juga mendesak Plt. Dirut PT Pertamina untuk mempercepat proses bidding EPC untuk RDMP Balikpapan, spin off asset untuk RDMP Cilacap, proses penyiapan lahan untuk GRR Tuban.  

Sebagaimana diketahui, untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, Pemerintah akan membangun 2 kilang minyak baru (GRR) di Tuban, Jawa Timur dan Bontang, Kalimantan Timur.  Selain itu, 4 proyek RDMP yaitu Kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai dan Balongan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto dalam paparannya dalam RDP tersebut mengungkapkan, untuk mempercepat rencana tersebut, Pemerintah telah menetapkan dukungan legalitas pembangunan kilang melalui Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang Dalam Negeri yang mengatur tentang skema pendanaan, pengadaan lahan, off taker product dan tax holiday.

Terkait tax holiday ini,  diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di mana untuk investasi di atas Rp 30 triliun akan mendapatkan tax holiday selama 20 tahun. Dukungan lainnya yang diberikan Pemerintah adalah memberikan keleluasaan kepada PT Pertamina dapat merubah porsi saham dalam pembangunan kilang, sehingga investasi asing dapat mencapai 99%. “Kalaupun Pertamina (share) cuma 1% karena kesulitan dana, Pemerintah mengizinkan,” kata Djoko.

Pelaksana tugas  Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menambahkan, porsi saham Pertamina dalam Kilang Bontang memang minoritas. Sebaliknya, share BUMN tersebut dalam Kilang Tuban yang bekerja sama dengan perusahaan minyak Rusia,  Rosneft, merupakan mayoritas yaitu 55%. Dijelaskan Nicke, saham Pertamina yang mayoritas di Kilang Tuban lantaran perusahaan tersebut melihat potensi bisnis petrochemical-nya. “Kita lihat pasar petrochemical di dalam negeri masih menjanjikan,” ujar Nicke.  

Pembangunan Kilang Tuban ini, lanjut dia, menghadapi kendala lahan. Dalam rencana awal, kilang akan menggunakan lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan milik masyarakat. Namun pelaksanaannya ternyata membutuhkan proses yang cukup panjang.  

Untuk mengatasi hal ini, Pertamina berencana menggunakan lahan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI dan XII (Persero), “Kita akan menggunakan lahan milik BUMN yaitu PTPN. Masih di Tuban juga. Jadi kita sudah lakukan survei dan cocok. Ini prosesnya tidak akan terlalu lama. Tidak perlu approval yang panjang dan tidak ada pembebasan (lahan) ke masyarakat,” terang Nicke.  

Nicke berharap masalah lahan ini dapat segera rampung sehingga proses pembangunan kilang dapat dilanjutkan kembali. “Yang penting proyeknya jalan. sudah terlalu lama kita muter-muter di lahan,” tandasnya.

Kilang Tuban ditargetkan beroperasi tahun 2024, sementara Kilang Bontang diharapkan beroperasi 2025. (sumber:Ditjen Migas)

Share.