Restitusi Bea Ekspor Freeport Rp1,8T, Akibat Salah Kebijakan?

Oleh Ismet Djafar*

Baru-baru ini Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) me-release Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2018. Dari Buku Laporan tersebut memuat tentang Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan. Dari hasil pemeriksaan BPK, terdapat temuan yang cukup serius yaitu tentang “Tarif Bea Keluar dalam Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) Bertentangan dengan Tarif Bea Keluar yang Telah Ditetapkan Kementerian Keuangan sehingga Terdapat Potensi Pengembalian Bea Keluar Sebesar Rp1,82 Triliun atas Ekspor Konsentrat Tembaga PTFI”.

Bea Keluar  (BK) adalah bagian pendapatan Negara yang berasal dari pajak perdagangan internasional. Pengelolaan BK menjadi tugas dan kewenangan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI. BK (duty) diwajibkan disetor kepada pemerintah dalam hal ini DJBC karena aktivitas kepabeanan atau aktivitas ekspor yaitu mengeluarkan barang ke luar negeri yang dikenakan terhadap barang tertentu atau transaksi keuangan tertentu yang tidak bersifat individual.

Sebelum Februari 2017, tarif BK bagi PTFI adalah sebesar 5%. Tarif  tersebut didasarkan pada tingkat kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) termasuk didalamnya penempatan jaminan kesungguhan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.011/2014, tingkat kemajuan pembangunan smelter 7,5% s.d. 30% dikenakan tarif BK 5%. Tarif tersebut berlaku sampai 12 Januari 2017.

Kemudian pada tanggal 10 Februari 2017 keluar aturan baru yaitu PMK Nomor 13/PMK/010/2017 yang mengatur bahwa penempatan jaminan kesungguhan membangun smelter tidak lagi diperhitungkan dalam mengukur tingkat kemajuan pembangunan smelter. Oleh karena itu, tarif BK bagi PT FI mengalami peningkatan  dari semula 5% menjadi 7,5%. PMK ini diterbitkan atas pertimbangan sebagai bentuk dukungan terhadap program hilirisasi produk mineral pengolahan di dalam negeri. PMK tersebut diundangkan pada tanggal 10 Februari 2017 dan berlaku sejak diundangkan. Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas mewajibkan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Pada saat sudah terbit beleid baru,  di lain pihak, Kementerian ESDM sedang dalam proses perundingan dengan PTFI. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan dan dituangkan dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 31 Maret 2017. Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono mewakili  Menteri ESDM menandatangani Nota Kesepahaman antara Menteri ESDM atas nama Pemerintah Republik Indonesia dengan PTFI. Dalam Nota Kesepahaman tersebut bahwa tarif BK yang dibebankan kepada PT FI adalah sebesar 5%, bukan 7,5%. Disisi lain, Kementerian ESDM justru tidak melakukan hal yang sama terhadap PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PTAMNT), tetap menggunakan BK 7,5%.

Nah, tarif BK 5% ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam PMK 13/PMK.010/ 2017 yang telah terbit sebelum Nota Kesepahaman tersebut ditandatangani. Tentu  Ignasius Jonan selaku Menteri ESDM sudah memahami ketentuan dan konsekuensi dalam PMK 13/PMK.010/2017. Oleh karena itu, kemudian Meteri Jonan menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui surat Nomor 3324/30/MEM.B/2017 tanggal 25 April 2017 yang mana Maksud surat tersebut, Menteri ESDM meminta Menteri Keuangan agar menyesuaikan dengan kesepakatan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman tersebut. Untuk meyakinkan Menteri Keuangan, dalam suratnya Menteri ESDM menginformasikan bahwa penetapan BK sebesar  5% termasuk bagian dari hasil negosiasi yang tertuang dalam Nota Kesepahaman.

Namun Surat Menteri ESDM tersebut tidak mendapat tanggapan secara langsung dari Menteri Keuangan.  Akhirnya pada tanggal 2 Juli 2017, Menteri ESDM “menyerah” dan menyurati lagi Menteri Keuangan dengan surat Nomor 5840/30/MEM.B/2017 yang menyatakan bahwa terhadap ekspor konsentrat PTFI dapat diberlakukan Bea Keluar sesuai dengan PMK Nomor 13/PMK.010/2017 yaitu 7,5%.  Oleh karena itu selanjutnya Menteri Keuangan pada tanggal 2 November 2018 melalui surat Nomor S-840/MK.04/2018 mengajukan permohonan revisi Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM, dengan PTFI. Dalam surat tersebut Menteri Keuangan juga menjelaskan bahwa MoU bukan termasuk dalam jenis hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga PMK (PMK 13/PMK.010/2017) lebih mengikat (secara hukum) dibandingkan MoU. Oleh karena itu, pengaturan isi materi MoU tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Adanya perbedaan antara kedua tarif BK ini, maka PTFI akhirnya  mengajukan keberatan atas penetapan tarif BK 7,5%. Permohonan keberatan PTFI  atas setoran BK ke kas Negara sebesar Rp1.968.833.747.591,00. Atas keberatan tersebut, Kanwil DJBC Khusus Papua menolak seluruh permohonan keberatan PTFI.  Sehingga PTFI melakukan upaya hukum melalui mekanisme banding ke Pengadilan Pajak. Selain mengajukan banding atas tarif BK sebesar 7,5%, PTFI juga mengajukan banding atas Volume dan Harga Ekspor yang ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk menghitung BK.

Sampai dengan tanggal 25 Maret 2019 Pengadilan Pajak telah mengabulkan 20 pengajuan banding PTFI. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim memutuskan memenangkan PTFI bahwa tarif BK bagi PTFI sebesar 5% sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Menteri ESDM atas Nama Pemerintah RI dengan PTFI yang ditandatangani pada tanggal 31 Maret 2017. Nah, berdasarkan hasil audit BPK, total BK PTFI  yang berpotensi direstitusi adalah sebesar Rp1.820.321.649.886,60. Tentu ini jumlah yang tidak sedikit.

Atas putusan banding Pengadilan Pajak tersebut, Pemerintah melalui DJBC telah mengajukan upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali kepada MA pada tanggal 1 dan 2 April 2019.  Selain itu DJBC diminta memperkuat argumentasi hukum melalui penambahan bukti baru untuk berkas yang masih dalam proses persidangan banding di Pengadilan Pajak.

Untuk diketahui, BK yang diterima oleh DJBC tahun 2018 sebesar Rp6,76 Triliun.  Dari penerimaan tersebut, realisasi terbesar BK 2018 terjadi pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) Amamapare, Papua yaitu sebesar Rp4,46 Triliun. Penerimaan ini berasal dari BK aktivitas ekspor konsentrat tembaga oleh PTFI.

Pertanyaaan selanjutnya, apakah DJBC dapat memenangkan seluruh sengketa BK dengan PTFI? Jika restitusi (pengembalian) BK PTFI dikabulkan semua, apakah hal ini bisa menjadi “potensi kerugian keuangan Negara”?, Mengingat uang tersebut sudah masuk kas Negara dan telah ditetapkan sebagai penerimaan Negara dalam Laporan APBN 2018. Kita tunggu  tindak lanjut dari hasil pemeriksaan BPK oleh Pemerintah atau aparat hukum. Apa yang akan terjadi setelah kasus ini, baik proses politik maupun proses hukumnya.

*Pemerhati Energi dan Pertambangan

Share.