Oleh Ismet Djafar*
Ketika wacana divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) mengemuka tahun 2015-2016, semua jadi heboh karena munculnya bocoran rekaman “papa minta saham”. Namun seiring dengan perjalanan waktu, Pemerintah tetap melanjutkan upaya mengambil alih saham PTFI, perusahaan tambang Amerika yang akan habis masa Kontrak Karya (KK)-nya tahun 2021. Perdebatan yang cukup sengit dapat dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah yang pro pemerintah bahwa mengambil bagian 51% saham PTFI dilaksanakan sebelum KK-nya berakhir tahun 2021 dan dapat diperpanjang 2×10 tahun. Kelompok kedua adalah yang berbeda dengan pilihan jalan Pemerintah. Mereka menginginkan transaksi akan lebih menguntungkan apabila setelah habis masa KK-nya tahun 2021. Argumentasi kedua kubu telah dikemukakan di hadapan publik dengan segala macam reasoning dan lain-lain, baik benefit maupun risikonya.
Saya tidak perlu lagi menguraikan satu persatu alasan dari kedua kubu, apalagi membuat perbandingannya. Kesimpulannya, Pemerintah tetap go ahead dan pada tanggal 27 Agustus 2017, HoA (Head of Agreement) antara Pemerintah dan PTFI ditandatangani. Inti dari HoA ini adalah disepakati oleh kedua pihak bahwa divestasi saham PTFI sebesar 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia. Selanjutnya Menteri BUMN sebagai pemilik saham Negara pada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau PT Inalum (Persero) menugaskan BUMN holding tambang ini untuk melakukan pengambilalihan saham divestasi PTFI sampai saham yang dimiliki peserta Indonesaia di PTFI mencapai mayoritas yaitu 51%.
Kemudian “baru diketahui” oleh publik setelah HoA di teken, bahwa Freeport Mc Moran Inc (FCX), perusahaan asing Amerika pemilik saham mayoritas PTFI hanya setuju untuk menjual “saham” milik PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI) sebesar 40% di dalam PTFI dan saham PTFI pada PT Indocooper Investama yang menjadi pemilik (shareholder) minoritas (9,36%) saham PTFI. Adapun “saham” PTRTI ini sebenarnya adalah Participation Interest (PI) 60% dari PTRTI atas Tambang Grasberg PTFI sampai dengan Tahun 2022. PI 60% ini jika dijual kembali sama dengan 40% saham pada PTFI, simpelnya begitu. Nah yang 40% saham ini yang disepakati oleh PTFI dan PTRTI untuk dijual ke Indonesia melalui PT Inalum (Persero). Untuk membeli saham tersebut, PT Inalum (Persero) menerbitkan global bond yang seluruhnya bernilai USD4 Miliar dan membelanjakan Rp65,59 Triliun untuk divestasi saham PTFI.
Singkatnya, setelah transaksi divestasi (closing) pada tanggal 21 Desember 2018 maka menghasilkan struktur kepemilikan baru sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Pemegang Saham (Shareholder Agreement) maka susunan Pemilik PTFI adalah Freeport McMoran Inc (FCX) sebesar 48,764%,; PT Inalum (Persero) secara langsung sebesar 26,236% dan PT Inalum (Persero) melalui PT IPMM sebesar 25%. Total Kepemilikan PT Inalum (Persero) terhadap PTFI per 31 Desember 2018 adalah 51,236 sedangkan FCX sebesar 48,764%.
Mungkin belum semua tahu mengapa tiba-tiba ada nama PT IPMM sebagai pemilik saham 25% PT FI. PT IPMM merupakan perusahaan yang sebelumnya bernama PT Indocooper Investama, pemilik 9,36% saham PT FI. Pada pelaksanaan divestasi ini dibeli 100% sahamnya oleh PT Inalum (Persero) sehingga PT IPMM menjadi anak usaha PT Inalum (Persero). PT IPMM sebagai special purpose vehicle (SPV) untuk mengakomodasi rencana kepemilikan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika secara tidak langsung atas 10% saham PTFI. Kepemilikan tersebut melalui BUMD khusus yang akan dibentuk dan dimiliki oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika. Kabupaten Mimika adalah lokasi dimana tambang PT FI beroperasi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dan apa yang sudah berjalan setelah PT Inalum (Persero) menjadi pemilik mayoritas PTFI. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI yang dikeluarkan pada tanggal 20 Mei 2019, BPK menemukan hal-hal yang di dalam Shareholder Agreement dan Perjanjian-perjanjian lain antara PT. Inalum (selaku investor) dengan FCX (selaku investee) dapat disimpulkan oleh BPK RI sebagai berikut :
- PT Inalum (Persero) tidak dapat mengambil keputusan sepihak atas rencana aktivitas PTFI walaupun kepemilikan saham Inalum adalah mayoritas yaitu sebesar 51,236%.
- PT Inalum (Persero) sampai tahun 2022 mendapatkan imbal hasil berupa deviden berdasarkan porsi kepemilikan saham yang sebelumnya menjadi milik Pemerintah Indonesia dan PT Indocooper Investama yaitu sebesar 18,72% ditambah dengan economic interest yang sebelumnya dimiliki oleh PTRTI yaitu sebesar 40% dari produksi yang melampaui metal strip.
- PTInalum (Persero) tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi imbal hasil investor dari keterlibatannya dengan investee.
Kesimpulan di atas menurut BPK karena Participation Agreement (PA) antara PTFI dengan PTRTI pada tahun 1996 masih diakui dan akan terus berlaku hingga 2022. Sebagian kewajiban PA ini direplikasi guna mendapatkan hasil optimal pasca periode awal, yaitu sebesar 51% atas economic interest sesuai 51% kepemilikan PT Inalum (Persero). Tanpa dilakukannya replikasi selama periode awal, menurut BPK RI, kepemilikan PT Inalum (persero) hanya akan mendapatkan economic interest sebesar 30,6% PTFI. Bukan 51% sesuai dengan equity interest Inalum.
Selain itu PT Inalum (Persero), menurut BPK RI, juga tidak dapat mengambil keputusan sepihak atas rencana aktivitas PTFI dikarenakan PT Inalum (Persero) masih dalam proses untuk memahami business proses PTFI, sementara operasional PTFI tetap harus berjalan.
Selama proses transfer of khowledge dari FCX ke PT Inalum (Persero), maka pengambilan keputusan tetap melibatkan FCX.
Kita belum tahu pasti, sampai kapan PT Inalum (Persero) benar-benar diakui telah memahami business proses dan operasional PTFI, sehingga Negara Indonesia melalui PT Inalum (Persero) secara nyata menjadi pengendali utama PTFI dan bukan dikendalikan oleh FCX.
*Pemerhati Energi dan Pertambangan