Bloomberg Technoz, Jakarta – Tekanan di industri pabrik pemurnian (smelter) nikel Indonesia saat ini tidak hanya dialami oleh pabrik pirometalurgi atau yang berbasis teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF), tetapi juga merambat ke segmen hidrometalurgi berbasis high pressure acid leach (HPAL).
Baru-baru ini sejumlah perusahaan smelter HPAL di Indonesia dilaporkan tengah terpukul karena lonjakan bahan baku utama, yaitu sulfur, yang menghambat keuntungan mereka; tepat saat pasar dibebani dengan isu kelebihan pasokan bijih nikel.
Harga sulfur, bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi asam, telah naik lebih dari tiga kali lipat selama setahun terakhir, didorong oleh peningkatan permintaan.
“Kita mungkin melihat suatu titik akhir tahun ini atau awal tahun depan ketika pabrik-pabrik HPAL mengalami margin yang sangat tipis,” kata Luigi Fan, seorang analis di SMM Information & Technology Co.
Sekadar catatan, smelter hidrometalurgi atau HPAL menyerap nikel kadar rendah atau limonit untuk menghasilkan produk turunan berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Akibat lonjakan biaya sulfur, pabrik-pabrik HPAL perlu membayar lebih dari US$2.500 lebih banyak dari tahun lalu untuk setiap ton MHP, sehingga menekan margin dalam industri yang masih berkembang ini, kata Fan. Saat ini, biaya rata-rata untuk memproduksi 1 ton MHP sekitar US$11.000.
Produksi MHP diperkirakan terus meningkat di Indonesia. Output nikel MHP diestimasikan melonjak menjadi 619.000 ton pada 2026, naik lebih dari sepertiga dari tahun ini, menurut Angela Durrant, analis utama logam dasar di CRU Group.
Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI) membeberkan biaya produksi olahan nikel di dalam negeri meningkat 57% imbas kenaikan harga sulfur. Industri smelter HPAL pun dinilai rawan merugi imbas kenaikan harga sulfur tersebut.
Anggota Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno mengatakan kenaikan harga sulfur menyebabkan lonjakan biaya asam sulfat dari US$2.000/ton menjadi US$6.000/ton nikel. Dengan demikian, total biaya produksi meningkat 57% dari US$7.000/ton menjadi US$11.000/ton.
Djoko menyebut dalam studi teknis dan keekonomian HPAL, asam sulfat bisa menyumbang hingga 20%—30% dari total belanja operasional atau operating expenditure (opex).
“Ketika harga sulfur naik tiga kali lipat, biaya produksi nikel [cost per ton Ni] juga meningkat tajam. Bisa menyebabkan smelter rugi, terutama jika harga jual nikel sedang turun,” kata Djoko.
Argus belum lama ini melaporkan harga sulfur global mulai naik sejak pertengahan 2024 karena permintaan yang lebih kuat dari Maroko dan Indonesia.
Di Indonesia, lini produksi smelter HPAL yang baru dioperasikan di PT QMB New Energy Materials dan PT Halmahera Persada Lygend juga menambah permintaan sulfur sekitar 830.000 ton/tahun.
Harga sulfur freight on board (FoB) Timur Tengah naik lebih dari tiga kali lipat menjadi US$285,5/ton FoB per 1 Mei dari US$86/ton tahun sebelumnya, menurut penilaian Argus. Harga sulfur granular cost on freight (CFR) Indonesia naik US$185/ton menjadi US$297/ton CFR selama periode yang sama.
Sementara itu, harga sulfur telah meningkat secara signifikan selama setahun terakhir, sedangkan harga nikel intermediet asal Indonesia sebagian besar berada dalam kisaran US$12.000—US$14.000/ton nikel yang sejak Januari 2024.
Harga nikel yang relatif datar dan kenaikan harga bahan baku membuat margin smelter HPAL makin menyempit. Margin laba kotor untuk produk MHP mendekati US$10.000/ton pada 2023 sebelum turun menjadi sekitar US$7.000/ton pada 2024, menurut perkiraan Argus.
Berdasarkan data APNI, saat ini terdapat 10 proyek smelter HPAL di Tanah Air. Sebanyak 6 di antaranya sudah beroperasi, sedangkan 4 lainnya masih dalam tahap konstrumsi.
Enam smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi tersebut mencakup 15 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel sejumlah 62,25 juta ton basah atau wet metric ton (wmt). Empat yang masih dalam konstruksi mencakup 6 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel 56,94 juta wmt.
Secara kumulatif, kesepuluh smelter hidrometalurgi tersebut membutuhkan 119,20 juta wmt bijih nikel.
Smelter Pirometalurgi
Adapun, jenis smelter nikel lainnya adalah pirometalurgi dengan teknologi RKEF yang mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit untuk menjadi feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI) sebagai bahan baku baja nirkarat.
Sebelum smelter HPAL mengalami gangguan, smelter nikel RKEF telah lebih dahulu mengalami krisis karena pemain di sektor ini dianggap sudah terlalu jenuh atau saturated. Pada periode awal booming komoditas nikel, pembangunan smelter pirometalurgi dilakukan secara jorjoran.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menjelaskan pemerintah tidak membuat perencanaan yang baik dan kebijakan yang ketat.
Walhasil, saat harga nikel terus merosot dan smelter yang terbangun telanjur sudah banyak, ekosistem industri nikel pirometalurgi menjadi tidak sehat.
Bisman menilai pemerintah perlu secara tegas melakukan moratorium proyek smelter nikel pirometalurgi atau setidaknya selektif dalam menerbitkan izin smelter.
Dalam hal ini, dia berpendapat hanya proyek smelter yang benar-benar memiliki skala keekonomian dan teknologi terbaik yang sebaiknya diizinkan untuk berlanjut.
Akibat margin yang terus jatuh di tengah kemerosotan harga nikel, beberapa perusahaan smelter pirometalurgi tercatat telah memangkas atau menyetop semenatara sebagian lini produksinya. Salah satunya juga dilakukan oleh pemain besar seperti Tsingshan Holding Group, yang mengoperasikan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya pernah menegaskan tidak akan memoratorium smelter nikel pirometalurgi, meski berbagai pakar telah mengingatkan bahwa persaingan industri smelter RKEF sudah terlalu ketat.
“Sampai sekarang belum ada [moratorium],” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno ditemui di Kompleks Parlemen, akhir Februari.
Tri menyebut pemerintah akan mengoptimalkan produk turunan nikel melalui program hilirisasi. Dengan demikian, pemerintah akan memilah mana smelter yang sudah jenuh dan yang belum jenuh.
Dia menegaskan tujuan awal hilirisasi agar smelter dapat memproduksi barang hingga tingkat lini hilir guna meningkatkan nilai tambah produk. Akan tetapi, hingga kini pelaksanaannya belum optimal.
“Kan sampai sekarang masih belum optimal ini. Harapannya ini ada yang lebih hilir lagi, supaya mungkin efeknya lebih bagus,” ujar Tri.
“Sedang dalam evaluasi lah. [Smelter] yang mana yang harus optimal misalnya mau dioptimalkan untuk [memproduksi bahan baku baterai]EV [electric vehicle/kendaraan listrik]. Misalnya dioptimalkan untuk produk-produk lain, kira-kira gitu.”
Menurut catatan Kementerian ESDM, terdapat 190 proyek smelter nikel di Indonesia; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Dari 190 smelter tersebut, hanya 8 atau 9 yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi atau HPAL untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis RKEF.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat tiga kali lipat, Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.
Harga nikel dunia sekarang merana mendekati level terendah sejak 2020. Nikel diperdagangkan di US$14.804/ton di London Metal Exchange (LME) pada Selasa (24/6/2025), turun 1,38% dari hari sebelumnya.
Adapun, krisis industri smelter dengan gejala serupa sudah dialami oleh China untuk sektor pengolahan tembaga. Akibat jorjoran pembangunan proyek smelter tembaga, China kini menghadapi ancaman penyetopan produksi—bahkan gulung tikar — lantaran fee untuk pemrosesan tembaga di negara tersebut anjlok terlalu dalam.
Gelombang besar investasi smelter baru di China juga telah membuat pabrik-pabrik pengolahan tembaga bersaing ketat dalam menemukan pasokan konsentrat yang cukup untuk mengisi tungku-tungku atau furnace mereka.
