Metode Income Lebih Fair untuk Valuasi Saham Freeport

JAKARTA – Aturan divestasi diterapkan oleh pemerintah sebagai upaya penegasan atau penguatan kontrol negara yang lebih besar terhadap pemanfaatan sumber daya mineral.

Pembatasan kepemilikan asing melalui divestasi ini berlaku bagi PT Freeport Indonesia. Pemerintah melalui PP Nomor 1 Tahun 2017 mengamanatkan setiap pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51 persen dimiliki peserta Indonesia.

Tahapan divestasi dicantumkan dalam pasal 97 ayat 2 PP Nomor 1 Tahun 2017 yaitu, tahun keenam 20 persen, tahun ketujuh 30 persen, tahun kedelapan 37 persen, tahun kesembilan 44 persen, dan tahun kesepuluh 51 persen dari jumlah seluruh saham.

Namun, dalam penghitungan valuasi sebagai dasar penawaran harga saham divestasi mengalami kebuntuan. Pemerintah menawarkan metode penghitungan valuasi berdasarkan replacement cost yang dituangkan dalam Permen ESDM No 27 tahun 2013, dan pihak PT Freeport Indonesia berdasarkan fair market value yang dituangkan dalam Permen ESDM No 9 Tahun 2017.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo mengatakan, dua metode pendekatan tersebut oleh kedua pihak mengalami kebuntuan. Pasalnya, kata dia, regulasi baru tidak memuat acuan perhitungan saham, melainkan hanya mengatur formulasi penentuan nilai saham divestasi berdasarkan harga pasar yang wajar.

Sebab itu, lanjut dia, penghitungan valuasi harga saham yang mendekati fair adalah metode income atau discounted cashflow. “Metode income atau discounted cashflow itu paling mendekati fair. Kalau pakai replacement cost hanya mengganti apa yang dikeluarkan. Ini preseden buruk karena seolah memberi kesempatan janji surga orang masuk, begitu selesai pengembangannya lalu diambil saham. Itu tidak fair, hanya mengganti apa yang dikeluarkan tapi tidak mengganti ekspektasi alasan orang masuk situ,” ujar Yustinus di Jakarta, Senin (8/5).

Adapun metode fair market value, kata Yustinus, tidak cocok karena lebih cocok untuk mengganti aset yang ada comparable-nya. “Ini jadi kesulitan,” imbuhnya.

Menurutnya, metode income lebih tepat karena ada ekspektasi revenue dan profit yang diharapkan. “Supaya fair, kita jangan menghitung semua cadangan. Itu tinggi sekali. Tapi kira-kira going concern perusahaan ini berapa tahun, 20 atau 50 tahun. Itu lebih fair. Tinggal menunjuk appraisal yang indepenen, supaya menggunakan metode yang independen. Jadi bukan Freeport atau pemerintah yang menggunakan metode sendiri. Kalau perlu dari asing, supaya lebih fair,” paparnya.

Lebih lanjut Yustinus mengakui, pilihan metode income belum ada hitungan detail. Namun, apabila menghitung dari cadangan dan ekspektasi yang ada, setidaknya keseluruhan saham Freeport kalau dinilai saat ini hampir Rp200 triliun lebih.

“Kalau 51 persennya sekitar Rp105 triliun. Adapun kemampuan BUMN itu Rp50 triliun. Dia tidak bisa melakukan pinjaman lebih tinggi karena peminjamnya juga ngga mau,” tuturnya.

Tiga BUMN Tak Feasible Danai Pembelian Saham Freeport

Dikatakannya, versi PTFreeport Indonesia atas valuasi harga saham berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak hinga 2041 yaitu 100 perseb saham PTFI adalah US$15,9 miliar, nilai 51 persen saham PTFI adalah US$8,11 miliar, dan nilai 41,64 persen saham PTFI adalah US$6,62 miliar. Adapun versi pemerintah 100 persen saham PTFI adalah US$5,9 miliar, nilai 51 persen saham PTFI adalah US$3,01 miliar, dan nilai 41,64 persen saham PTFI adalah US$2,46 miliar.

Yustinus menuturkan, apabila pemerintah berminat dalam kepemilikan saham PTFI melalui holding BUMN (PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, dan PT Timah) dimana total aset tiga BUMN tersebut sekira Rp58,10 triliun, rasio total hutang/total aset 40,43 persen, kas dan setara kas Rp4,16 triliun, dan piutang Rp11,86 triliun. Sementara valuasi dari 10,64 persen total saham PTFI versi pemerintah senilai Rp8,19 triliun, dan versi PTFI Rp22,1 triliun.

“Apakah feasible? Penerbitan obligasi akan meningkatkan rasio hutang total ketiga BUMN menjadi 54 persen (versi pemerintah) – 78,46 persen (versi PTFI) untuk 10,64 persen total saham PTFI. Dengan total piutang sebesar Rp11,86 triliun, sekuritisasi ketiga perusahan tersebut tidak akan feasible mendanai pembelian 51 persen saham PTFI. Dengan asumsi harga buku sama dengan harga pasar. Dampak lainnya, kemampuan holding BUMN untuk ekspansi di industri mineral lainnya menjadi terbatas maupun peningkatan risiko perusahaan,” pungkasnya.

(Sunandar) 

Share.